Malang, Desa Ngadas yang terletak di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur adalah desa tertinggi di Pulau Jawa, dengan ketinggian 2000 dpl (di atas permukaan laut), yang juga merupakan perbatasan dari Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Lumajang. Desa Ngadas sendiri merupakan pintu masuk ke Gunung Bromo melalui jalur Kota Malang, yang juga masuk area Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Ada dua dusun yang berada di wilayah Desa Ngadas, yaitu, Dusun Ngadas dan Dusun Jarak Ijo.
Masyarakat Tengger sendiri dulunya merupakan migrasi dari penduduk kerajaan Majapahit yang terdesak kebudayaannya setelah agama Islam masuk. Sampai sekarang, warga Tengger khususnya Desa Ngadas masih menjunjung nilai-nilai budaya lokal yang sangat tinggi. Salah satunya adalah budaya berlebaran Karo yang dilakukan sekitar seminggu. Tahun ini jatuh pada hari Minggu tanggal 14 tahun Saka (penanggalan adat Tengger) atau pada tanggal 20 Oktober 2013.
Lebaran Karo sendiri adalah memperingati meninggalnya satria yang memegang teguh dan taat pada keyakinan pada rajanya. Kedua satria tersebut meninggal dalam meninggal dalam mempertahankan perintah dan kenyakinannya. Kata kedua dalam bahasa Jawa berbunyi Karo. Untuk memperingati kedua/karo satria tersebut, maka diadakan peringatan untuk menghormati kedua/karo satria tersebut.
Menurut salah satu dukun adat masyarat Tengger yang tinggal di Desa Ngadas, Ngatono, peringatan Karo atau lebaran Karo ini diperingati untuk menghormati sosok bernama Alif dan Hono. Alif adalah seorang satria yang diperintahkan oleh gurunya untuk membawa sebuah pusaka kepada sang guru. Dalam perintah tersebut, Alif diperintahkan agar mempertahankan pusaka tersebut. Siapapun yang membawa atau merebut, Alif agar mempertahankan, meski nyawa menjadi taruhannya.
Sementara itu, Hono adalah murid dari seorang raja bernama Aji Soko, kepada Hono, sang raja memerintahkan untuk membawa sebuah pusaka. Dalam perintah tersebut, agar Hono menjaganya dengan baik. Apabila ada orang yang mengaku atau membawa pusaka tersebut, Hono harus mempertahankannya meski nyawanya menjadi taruhan.
Saat membawa pusaka tersebut, keduanya, Alif dan Hono bertemu di tengah jalan. Karena ada orang lain, keduanya akhirnya saling merebutkan pusaka masing-masing. Dalam pertempuran tersebut tidak ada yang kalah. Sehingga, keduanya mengeluarkan pusaka dari dalam sarungnya. Saat keduanya mengeluarkan senjata masing-masing, keduanya langsung meninggal dunia.
Dibawah sinar bulan purnama dan dingin menusuk tulang, warga Ngadas antusias saat riyaya karo
Kabar meninggalnya kedua satria ini didengar oleh sang guru dan raja Aji Soko, maka keduanya langsung menuju ke lokasi peperangan kedua muridnya tersebut. Dalam pertemuan itu, sang guru dan Aji Soko sepakat akan menghormati dengan cara memperingati meninggalnya orang pilihan tersebut. Kesepakatannya yaitu, apabila nanti keturunan atau kaum yang percaya pada keyakinan Alif akan dikubur menghadap ke utara. Sedangkan keturunan atau kaum yang percaya pada keyakinan Hono akan dikuburkan menghadap ke timur. Selanjutnya, Alilf dimakamkan menghadap ke utara sedangkan Hono dimakamkan menghadap ke arah timur. Keduanya dimakamkan di kawasan Desa mBambang Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang.
Budaya memperingati meninggalkan kedua satria tersebut, sampai sekarang masih diperingati oleh masyarakat adat Tengger. Bahkan, masyarakat Tengger menyebutnya sebagai lebaran, dimana peringatan cukup meriah. Hari pertama peringatan lebaran atau dalam bahasa Tengger disebut Riyaya ini adalah dengan upacara makan bersama dan acara tayuban. Dalam makan bersama ini, Kepala Desa Ngadas akan didatangi seluruh warganya untuk makan di kediaman kepada desa.
Seluruh warga Ngadas saat menikmati hidangan dalam acara makan bersama
Kepala Desa Ngadas, Mujianto, mengatakan semua warganya akan mendatangi rumahnya. ‘’Pertama yang datang adalah anak-anak untuk makan di rumah kami, selanjutnya bergiliran ibu-ibu. Setelah selesai, bapak-bapak akan datang dan berdialog serta melihat acara hiburan kesenian tayuban,’’ kata Mujianto.
Setelah semalam mengadakan pesta makan bersama dan kesenian tayuban, esok harinya akan digelar tumpeng gede atau tumpeng besar. Dalam tumpengan ini akan adalah upacara mengirim doa kepada para leluhur mereka, terutama kepada Alif dan Hono. Selanjutnya, beberapa tokoh Desa Ngadas serta para dukun adat Tengger akan mendatangi rumah warganya untuk makan bersama pemilik rumah.
Usai perayaan tumpeng gede tersebut, sebagian besar warga Ngadas akan pergi ke makam Alif dan Hono yang ada di Desa mBambang Kecamatan Wajak untuk berziarah. Jarak antara Desa Ngadas dengan Desa mBambang sekitar 30 kilo meter. ‘’Kami akan menggunakan beberapa kendaraan besar untuk berziarah makam yang ada di Wajak tersebut,’’ papar Ngatono, kepala adat Tengger di Desa Ngadas.